Awalnya saya ingin pulang cepat. Sesuai jadwal kereta yang dipesan Mas Kamal dari Paragon Corp. Berangkat Selasa, pulang Jumat. Pelatihan cukup 2 setengah hari saja.
Tentu karena kami berempat masing-masing punya sekeranjang pekerjaan kantor. CEO Irham Thoriq dan Bayu lagi fokus event Womens Day Out pertengahan bulan depan. Sholeh dibutuhkan redaktur. Saya? Harus kejar target omset. Menawarkan program Merdeka Advertorial Tugu Malang.
Sambil pelatihan, sambil koordinasi. Hari pertama sama CEO Paragon Salman Subakat. Sekitar 2,5 jam. Singkat saja. Tapi sejak saat itu saya pikir, ini bukan pelatihan. Ini adalah kongsi. Santai dan cari teman.
Tidak mudah bisa membayangkan, seorang CEO perusahaan kosmetik yang merajai tanah air, punya waktu luang bareng startup, komunitas. Bahkan sama anak magang kampus, misal Nico dan JJ dari UGM, dan kawan-kawan.
Okelah mungkin itu saja. Tapi ternyata saya keliru. Karena hari selanjutnya, kami mengunjungi jaringan Salman yang disebutnya ekosistem.
Kamis pagi kami kunjungi Rumah Wijaya dan Ganara Art. Ada Mas Umar dan Mbak Tita. Mas Umar ini lulusan China, pernah ngajar di Yunnan. Mbak Tita aktif di kesenian. Dia menggawangi program Mari Berbagi Seni. Mereka dan tim mempunyai mimpi besar, berbagi di dunia pendidikan dan kesenjangan sosial, lewat seni. Komunitasnya sudah beberapa di luar Jawa.
Siangnya, kami lanjut ke Bekasi. Jarak tempuh mungkin seperti dari Gadang ke Kota Batu. Tapi jarak tempuh bukan ukuran. Kemacetan dimana-mana. Tapi niat, main ke adik saya yang jaga warung di Bekasi. Keturutan juga. Meski masuk dan keluar tol tanpa kartu tol.
Gimana caranya? Setiap indomart dan alfamart sebelum masuk tol saya tanya, kartu tol habis. Mungkin persiapan era cardless. Sken pakai hp. Kata Thoriq waktu itu “pasti ada jalan”.
Di Malang biasanya, pintu paling kiri bisa jadi opsi. Kehabisan token bisa beli ke petugas. Tapi di Jakarta tidak begitu. Saya harus turun dan pinjam kartu tol mobil di belakang. Agak ngisin-ngisini. Hehe…
Baru di Bekasi pas mau balik Jakarta, kami dapat kartu tol. Waktu itu sudah sore. Prediksi jalanan macet mencekam. Sementara ada jadwal bertemu Pemred Kumparan Arifin Asydhad. Waktu tidak terkejar dan jadwal diatur ulang.
Padahal saat itu sudah dekat Jaksel, tapi estimasi waktu tidak memungkinkan. Kami baru bisa masuk Kuningan sehabis maghrib. Dan masuk Plasa Setia Budi habis isya. Di area itu mobil-mobil pada tiarap. Cari parkirpun harus muter-muter. Penuh. Makan waktu lagi.
Tapi semua kemuakan macet itu terbayar tuntas. Kami bertemu Dirut Suara.com Suwarjono. Hebat sekali orang ini. Membangun Suara.com dengan perhitungan yang keren.
Pak Jono harus membeli perusahaan kecil yang untung. Lalu keuntungan dikumpulkan, untuk membangun media pers. Karena media pers kata dia, perlu mandiri. Semua itu menurutnya bisa mudah dikerjakan dengan kolaborasi. Dan talenta muda kata dia, pandai mengerjakan hal ini.
“Ya harus sabar,” kata Pak Jono.
Agak larut malam, kami terobos lagi jalan tol. Menuju Depok. Rumah Pemimpin Redaksi Tugujatim.id Pak Nurcholis. Tepatnya di Kukusan Teknik UI. Area kos-kosan UI pintu belakang. Sejumlah foto Pak Nur bersama tokoh, termasuk sejumlah Presiden RI. Menggantung di dinding ruang tamu. Pukul 02.00 dini hari, kami pun balik ke Jakarta.
Talenta muda. Betul juga kata Pak Jono. Jumat pagi kami di kantor Paragon. Diskusi sama Corporate Communication Paragon Technology and Innovation Mbak Eko Siswati dan kawan-kawan. Mereka yang menggawangi program brand kosmetik sebesar Wardah dan Emina, itu talenta muda. Masih kepala dua.
Tidak hanya mereka. Di perkantoran Kampung Baru, kantornya Paragon. Karyawan yang saya temui mayoritas anak muda. Kecuali satpam. Kantor Paragon letaknya di perkampungan. Tapi luas dan terbagi-bagi. Paragon 1 hingga 6. masing-masing sama luas. Disitulah saya bisa lihat para karyawan saat jam istirahat siang. Dominasi anak muda.
Sorenya kami geser ke kantor Pemimpin.id yang digawangi Mas Aji. Ekosistem Paragon juga. Orang ini juga luar biasa. Dia lulusan ITS, kebetulan asli Surabaya. Lalu kuliah dan kerja di Jerman. Kemudian pulang ke Indonesia kerja dan jadi pimpinan di perusahaan multinasional.
Namun semua itu tidak berarti banyak. Pertemuannya dengan Salman Subakat, seolah jadi energi. Bagaimana mengabdi untuk bangsa yang besar ini.
“Di negara maju itu ilmu kepemimpinan sangat penting dan diterapkan dengan baik. Pemimpin.id ini ada untuk itu. Kami ingin berbagi bersama anak muda di tanah air,” kata Aji.
Niat mulia Mas Aji tidak kalah keren sama yang dilakukan Mas Rico. Mas Rico ini yang mendirikan Pondok Inspirasi di sekitar IPB. Ya, habis dari kantor Pemimpin.id, kami terobos lagi macet Jakarta. Ke Bogor.
Kami berkunjung ke markas Ruang Berkembang, satu atap sama Pondok Inspirasi. Saya senang sekali bisa bertemu anak muda IPB dari berbagai jurusan. Dari berbagai daerah. Berbagi cerita dan pengalaman.
Mas Rico cerita, dirinya dan rekan-rekan membangun Pondok Inspirasi dengan niat sederhana. Menampung mahasiswa baru IPB yang tidak punya tempat kos. Mas Rico pun sewa rumah dibuat asrama untuk mereka.
“Awalnya saya kan di IPB. Ngurusin mahasiswa yang utang-utang ke kampus. Bidik misi belum cair, tapi kebutuhan mahasiswa kan setiap hari. Paling banyak saya tanya buat bayar kos. Kampus punya program pinjaman itu,” kata Rico.
Prihatin dengan fenomena itu, Rico pun bangun wadah Pondok Inspirasi ini. Bukan hanya untuk fasilitasi tempat tinggal mahasiswa, tapi juga untuk belajar bareng hingga raih prestasi cemerlang. Sejumlah anggota Pondok Inspirasi dapat beasiswa ke luar negeri. Dan kata Rico, mereka orang tidak mampu.
Perjuangan Mas Rico ini yang saya suka. Saat musim corona kemarin. Saat ekonomi lesu. Dia tidak bisa bayar sewa kontrakan yang jadi asrama Pondok Inspirasi. Sekitar Rp 100 juta. Karena saat itu ruang gerak aktifitas dibatasi. Karena corona.
Hingga pada satu titik dimana Rico dan teman-teman Pondok Inspirasi harus menyerah. Asrama harus ditinggalkan karena tidak dibayar.
“Saya sudah tidak punya apa-apa. Ya sudah saya minta anak-anak ikut salat malam. Berdoa. Hanya itu yang kita punya. Dan besoknya, keajaiban terjadi,” ceritanya.
Ya, Rico pernah menghubungi dan menceritakan masalah ini ke Salman Subakat. Tapi respon dari Salman baru 2 bulan lamanya. Atau baru terjadi pagi hari pasca salat malam berjamaah para anggota Pondok Inspirasi. Ajaib. Semua klir. Dan Pondok Inspirasi sekarang berkembang.
Malam Minggu Pemungkas
Waktu di Jakarta sepertinya tidak boleh sia-sia. Kebetulan sekali saat masih di kantor Ruang Berkembang, saya dihubungi Wahyu Muryadi. Eks Pemred Tempo. Pengawas Forum Pemred. Stafsus MKP.
Kami janjian bertemu di Senayan City, sabtu sore. Waw… banyak ide yang bisa dibreakdown ke Malang. Salah satunya bagaimana jurnalis bisa mewakafkan diri untuk bangsa dan negara.
Malamnya, sudah ditunggu Salman Subakat di Rumah Wijaya. Kami telat setengah jam karena agak macet. Alasan sebenarnya karena Thoriq beli sepatu Adidas baru. Yang lama saat urusan harga, Thoriq cari yang pas.
Senang sekali malam itu, malam minggu. Bisa kumpul dan menimba ilmu dari kawan-kawan yang hadir. Dan lagi-lagi, bagaimana Salman Subakat meluangkan malam minggunya untuk berbagi dengan anak muda. Dan dia kelihatan senang sekali. Ini sangat keren.
Sehabis acara, malam kelihatan masih panjang. Kami terobos lagi jalan. Menuju Pantai Indah Kapuk. Yang banyak ornamen China dan elit. Kami langsung balik. Saya berpikir tidak akan dapat apa-apa disana kecuali kebisingan.
Minggu siang, masih ada satu agenda tersisa. Agenda susulan. Kami harus berangkat ke Tangerang, antar proposal. Ini momentum yang perlu langkah terukur. Jika telat waktunya, kami bisa ketinggalan kereta.
“Oke berangkat,” kata Bayu yang lihat google maps.
….…
Tidak mudah kami bisa kesana-kesini bertemu orang. Bekrejaran dengan waktu. Rebutan jalan. Salip kanan kiri. Kata Mas Agus Pondok Inpirasi; telat masuk 1 detik akibatnya bisa terlambat 1 jam.
Untuk waktu-waktu kepepet, Thoriq jadi andalan. Nyetirnya model gobak sodor. Memainkan keberanian dan akselesari. Kalau waktunya santai, Bayu yang nyetir. Saya urusan yang jarak jauh. Sholeh urusan navigasi.
Saya sendiri merasa banyak dapat pelajaran. Selain dari orang-orang hebat tadi, juga dari kemacetan. Kami lawan itu macet. Kami tabrak regulasi ganjil genap. Tabrak batas waktu. Tabrak batas jarak.
Untuk lakukan itu, saya kira perlu niat yang tangguh. Kekompakan. Kalau saja mau malas-malasan. Banyak waktu akan habis percuma di apartemen. Karena tidak ada jadwal khusus pelatihan.
Pelatihan kepemimpinan mengalir begitu saja. Belajar dari siapa saja. Dan beruntung kami bisa menimba ilmu dari orang-orang hebat tadi.
Kita Lawan Itu Malas!
Fajrus Sidiq
GM Tugumalang.id
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id