Irham Thoriq*
Kami justru dapat pelajaran dari Gus Baha meski tidak bertemu. Ceritanya seperti ini.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul dengan sejumlah teman di Alun-Alun Utara, Yogyakarta, Jumat malam (02/09/2022), kami bertolak ke Rembang, Jawa Tengah. Kami bergegas sekitar pukul 21.00 WIB.
Dengan estimasi perjalanan sekitar enam jam, kami meluncur ke Rembang melalui Tol trans Jawa. Kami hanya berhenti di Rest Area Ngawi. Setelah itu, keluar di Tol Ngawi.
Perkiraan kami tidak meleset, kami tiba di Pesantren Gus Baha, tepatnya di Kecamatan Narukan, Rembang, sekitar pukul 03.00 WIB. Kami menyapa seorang santri. Bertanya, apa benar pesantren tersebut adalah Pesantren Tahfidzul Qur’an Lembaga Pembinaan Pendidikan Pengembang Ilmu Al-Qur’an (LP3IA) yang diasuh oleh KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. Santri itu tidak menjawab. Dan ngeluyur begitu saja.
Tampaknya, santri itu sedang berjalan untuk pindah tidur. Dia setengah sadar ketika kami sapa. Baru kepada santri yang lain, kami dapat kepastian kalau pesantren itu adalah pesantren Gus Baha.
Seorang santri lalu mengarahkan kami ke ruang tamu yang berada di sudut pesantren. Subuh berkumandang, kami bergegas. Dari awal, kami memang menargetkan untuk bisa salat Subuh. Targetnya tentu saja bisa bertemu dengan Gus Baha.
Kami sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Gus Baha sejak dari Yogyakarta. Oleh-oleh itu juga saya bawa saat salat Subuh.
Posisi salat kami pun mengikuti anjuran seorang teman yang rumahnya tidak jauh dari pesantren itu: salat Subuh agak ke belakang, biasanya Gus Baha menjadi makmum dan salat di belakang. Tapi, kami gagal bertemu dengan Gus Baha. Dia tidak terlihat di dekat kami salat Subuh agak di belakang. Mungkin, Gus Baha salat juga di musala pesantren, tapi berada di bagian lain.
Setelah salat Subuh, kami mencoba mengikuti anjuran orang lain yang disampaikan melalui istri. Mencoba bertanya ke pengurus pesantren dan mengutarakan niatnya untuk bisa sowan (bertemu) dengan Gus Baha.
Salah seorang pengurus menyebut bahwa Gus Baha sudah lama tidak menerima tamu. Tidak hanya kami, banyak tamu dari luar Jawa yang juga gagal bertemu.
”Ada dari Lampung, ada juga orang sakit yang ke sini, ya gak ditemuin. Gus Baha kan bukan dokter,” kata santri tersebut.
Kami tetap bersikukuh dengan menyampaikan bahwa kami adalah jurnalis yang sedang melakukan ”Jelajah Jawa-Bali, Mereka yang Memberi Arti”. Program ini adalah program kolaborasi antara Tugu Media Group dan PT Paragon Technology and Innovation yang mengangkat hal-hal inspiratif dari berbagai daerah. Tapi, santri itu tetap menyatakan kalau Gus Baha tidak bisa menerima tamu.
Gus Baha, santri tersebut mengatakan, meminta para tamunya untuk datang di pengajian rutin beliau yakni setiap Rabu, dua minggu sekali. Gus Baha meminta bahwa orang jika ngefans atau mengagumi seseorang, lebih baik kagum pada keilmuannya. Selain itu, meniru ilmu yang diajarkan orang tersebut. Tidak lantas ngefans hanya kepada orangnya saja.
Karena itu, Gus Baha menghindari tamu. Termasuk, orang tua yang hendak menitipkan anaknya untuk menjadi santri di Pesantren Gus Baha, juga tidak bisa bertemu. Orang tua tersebut hanya bertemu dengan pengurus pesantren.
Biasanya di pesantren-pesantren, orang tua yang mendaftarkan anaknya selalu bertemu dengan pengasuh atau kiai pesantren. Sowan, bahasanya seperti itu. Umumnya, meski bukan sebuah kewajiban, orang tua memberi sejumlah uang atau salam tempel kepada sang kiai.
Gus Baha yang terkenal dengan kehidupannya yang sederhana, justru menolak hal tersebut. Padahal, jika mau, saya yakin, setiap hari akan banyak orang yang sowan ke Gus Baha. Tapi, dia hanya ingin ditiru melalui ilmunya. Tidak perlu bertemu langsung. Itu sikap dan pilihan dari Gus Baha.
Kita tahu dalam beberapa tahun belakangan, Gus Baha adalah sosok yang luar biasa. Di YouTube, video-video Gus Baha mayoritas ditonton puluhan ribu orang. Bahkan, ada satu videonya ditonton 2,1 juta orang.
Lagi-lagi, dalam hal YouTube, Gus Baha tak lazim. Beliau tidak punya channel resmi, tampaknya sengaja tidak membuat. Dengan demikian, dari pengajiannya yang viral, Gus Baha tidak mendapatkan keuntungan ekonomi apa-apa. Di salah satu pernyataannya, Gus Baha tak masalah. Setidaknya, pengajiannya sudah memberi pencerahan bagi orang lain, juga memberi sumber ekonomi bagi yang lain juga.
Belakangan, viral juga pernyataan podcaster Deddy Corbuizer yang bercerita kepada Gus Miftah bahwa dia sedang suka mendengarkan video Gus Baha. Gus Miftah bukannya mempermasalahkan, justru menjawab beliau juga dengan ceramah Gus Baha.
”Ngaji kepada Gus Baha itu sangat-sangat menyenangkan karena seolah semua manusia itu berpotensi masuk surga. Dan beliau rileks dalam menyampaikannya,” kata Gus Miftah.
Dalam sebuah kesempatan, Gus Baha mengatakan bahwa dia tidak ingin terlalu dihormati yang berlebihan. Itu adalah pesan sang ayah kepada Gus Baha.
Ya, kadang gila hormat secara berlebihan memang tidak bagus. Karena itu akan ”membelenggu” kita.
Apalagi, sejatinya kita bukanlah siapa-siapa, kita bukan apa-apa.
Kepada Gus Baha, kita banyak belajar. Sekalipun belum pernah bertemu Gus Baha secara langsung.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali, tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id
*CEO Tugu Media Group (Tugumalang.id, Tugujatim.id, Tugubandung.id)
editor: jatmiko